Rabu, Juli 27, 2011

Cerita dari Lembur Batur-part 1

“Kuliah kerja nyata”, itulah judul yang dipilih oleh pihak kampus untuk menamai kegiatan ini. Pada intinya, kampus kami tercinta, UPI (Universitas Patilasan IKIP) mengirimkan mahasiswa-mahasiswa yang telah menyelesaikan 6 semester di kampus ini untuk menyebar di pelosok-pelosok desa, kampung, dan kecamatan. “Untuk terjun langsung dan mengabdikan diri pada masyarakat”, katanya.
Mahasiswa UPI turun ke masyarakat
Awalnya, gue masih nggak kebayang kayak apa KKN itu. Beberapa senior membuat lelucon dengan bilang “Itumah Kuralang-kuriling- Nyatu” (Jalan-jalan dan makan), ada yang bilang Kurang Kerjaan Nyata, Kuralang-Kuriling Nongkrong, dan banyak lagi. Sepertinya gue harus membuat kamus baru untuk membukukan istilah-istilah baru ini.
Ada yang bilang KKN itu nyantai. Sangat nyantei sehingga menyerupai liburan. Tapi, ada yang bilang juga KKN itu perjuangan hidup. Yep, mau mandi ngambil air ke gunung, listrik terbatas, koneksi internet sulit, pasar jauh… Yang pasti, KKN itu untung-untungan tergantung tempat yang lo pilih.
Dan, disinilah gue, di Desa Campakamulya Kecamatan Cimaung, yang gue pilih sendiri karena salah ngeliat Google Map.
“Di google Map, tulisan Cimaung deket ama Soreang (rumah gue), men!”
yaiyalah, lo belajar skala peta nggak sih?
Desa Campakamulya adalah sebuah desa yang pasti lo lewatin kalo mau jalan-jalan ke Gunung Puntang. Gunung? Iya, gunung. Bisa dibilang, desa tempat gue tinggal sekarang ini adalah kaki gunungnya.
Well, not too good and not too bad. Setelah survei pertama beberapa minggu sebelum KKN benar-benar dilaksanakan, Gue dan sembilan temen KKN gue ketemu Pak Kades yang cukup ramah dan menawarkan rumah miliknya (letaknya sebelahan pula sama rumah yang ditinggalinnya sekarang) untuk ditempati oleh sepuluh mahasiswa labil asal bandung ini. “Tapi, bapak masih asa-asa, yeuh.. Layak atau tidaknya. Takutnya kalian tidak cocok” katanya begitu. Mendengar kesempatan untuk tetanggaan dengan Pak Kades (yang berarti minta izin, minta cap, dan sebagainya tinggal ngelangkah doang) sungguh membuat kita tergiur. Tanpa berpikir panjang, kita seolah antusias menerima tawaran si Bapak. Pernyataan “Tapi siga kandang japati” juga seolah tak kami hiraukan.
Sama sekali tidak terlihat seperti kandang merpati
Saat hari H tiba dan kami mulai menempati rumah Pak Kades, kami mulai kebingungan dengan jumlah kamar yang—sebenernya ada tiga, tapi satu kamar ditempati berkarung-karung beras cadangan (dijadikan lumbung), satu kamar ditempati tikus-tikus yang lucu, dan kamar terakhir terlalu kecil untuk ditempati 3 orang pria apalagi 7 orang wanita. Akhirnya, setelah ditata sedemikian rupa, para pria mendapat kamar ruang tidur di antara dapur dan ruang makan, sedangkan para wanita mengalah untuk tidur di ruang tengah.
Tidur di ruang tengah
Ada tiga kasur lantai yang disediakan Bu Kades dan satu kasur gulung yang gue bawa. Bayang kan, setiap malam sebelum ngantuk tiba, para wanita harus menggotong kasur-kasur itu ke tengah rumah. Dan saat pagi tiba, mau nggak mau kita gotong lagi kasur-kasur itu ke kamar agar ruang tengah bisa dipakai untuk beraktifitas. Well, ini hanya masalah gotong menggotong.
Ah! Kamar mandi. Izinkan gue bercerita tentang kamar mandi. Satu rumah, 10 orang, dan satu kamar mandi. Kamar mandinya luas, dan Pak Kades menyimpan Bathtub di dalamnya. Sayang, gue dan anak-anak yang lain nggak bisa mandi susu atau bubble bath-an disana, karena bathtubnya difungsikan sebagai bak mandi.
Photo 0401
Oya, keran air ada dua dan dua-duanya ada di dalam kamar mandi. Jadi, semua kegiatan yang menyangkut cuci mencuci, baik cuci piring, cuci baju, cuci beras, cuci muka, cuci badan, cuci ketek, semua hanya bisa dilakukan di satu tempat yang diperebutkan 10 orang setiap paginya.
Photo 0417Photo 0392
Eh, have I told you there is no kitchen here? Cuma ada sebuah ruang panjang tanpa keramik di bagian belakang rumah, ditumpuk kayu dan ditunggui seekor gajah yang tersenyum, kami menyebut gudang ini sebagai dapur. Sederhana, hanya dengan satu meja kayu yang diatasnya terdapat kompor gas, dan dua meja untuk motong-motong. Tanpa listrik, apalagi kulkas. 
Tapi, gue sama sekali nggak ngerasa semua ini adalah beban. Alhamdulillah, gue mendapat teman-teman yang nggak terlalu rewel dengan keadaan. Motto kelompok kita adalah “Camul selalu Ceria”. Jadi, walaupun kamar mandi harus rebutan, listrik rebutan, tempat tidur bikin cape, semua tetap kita hadapi dengan ceria.
The Camul Ceria Crew

4 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...